Thursday, August 21, 2008

PENELANTARAN PENDIDIKAN: Perspektif Hukum terhadap Hak Memperoleh Pendidikan

author : Pan Mohamad Faiz (jurnalhukum.blogspot.com)

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting di dalam pengembangan individu warga negara maupun suatu bangsa. Hal ini sangat penting karena pendidikan akan memberikan sebuah kontribusi terhadap kemajuan peradaban manusia. Dalam suatu masyarakat demokrasi, buah hasil dari demokrasi itu sendiri tidak akan diperoleh tanpa adanya penghapusan dari rasa acuh masyarakat terhadap rendahnya kualitas pendidikan. Keinginan yang cukup tinggi di bidang pendidikan ini, baik pada setiap organisasi maupun masyarakat umum, hanya akan tercapai bila diikuti dengan usaha yang cukup keras.

Pendidikan adalah suatu hal yang luar biasa pentingnya bagi sumber daya manusia (SDM), demikian pula dengan perkembangan sosial ekonomi dai suatu negara. Hak untuk memperoleh pendidikan telah dikenal sebagai salah satu Hak Asasi Manusia (HAM), sebab HAM tidak lain adalah suatu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Hak memperoleh pendidikan sangat berkaitan erat dengan HAM. Tanpa adanya pendidikan, kehidupan tidak akan mempunyai arti dan nilai martabat dan inilah sebenarnya maksud dasar dari HAM itu sendiri, di mana setiap orang mempunyai hak untuk menjadi seorang manusia seutuhnya.

John Stuart Mill dalam karyanya “Principles of Political Economy and Liberty” mengemukakan bahwa pendidikan disadari sangat dibutuhkan oleh setiap anak sebagai bekal kehidupannya kelak, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk menyiapkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan anaknya tersebut. Pendidikan sangat penting bagi anggota masyarakat secara umum di mana mereka akan memperoleh penderitaan yang cukup serius bilamana tidak terdapat kesadaran sesama anggota masyarakat akan arti penting sebuah pendidikan. Bagi Mill, pendidikan bagi bagi lapisan bawah adalah suatu yang sangat esensial untuk peningkatan kemampuan pribadi, mobilitas sosial dan masyarakat, dan merefleksikan rasa kebersamaan sosial dan filosofi dari nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, memberikan pendidikan yang layak udah seharusnya menjadi suatu kewajiban yang berlipat ganda bagi sang orang tua, baik itu terhadap anak-anaknya maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Monday, July 21, 2008

Persoalan-persoalan diseputar Perlindungan Konsumen

Author : Dunia Anggara

Kemenangan konsumen atas pelaku usaha dalam kasus Anny R. Gultom cs Vs Secure Parking patut mendapat apresiasi yang tinggi. Kemenangan ini sesungguhnya merupakan tonggak bersejarah bagi upaya perlindungan konsumen di Indonesia.

Sesungguhnya sudah sejak lama hak-hak konsumen diabaikan oleh para pelaku usaha, bahkan sejak lahirnya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus mencuat saat ini adalah kasus obat nyamuk HIT, kasus ini merupakan cerminan bagaimana para pelaku usaha tidak mau memberikan informasi yang cukup dan memadai tentang kandungan dari obat nyamuk tersebut. Belum lagi terdapat penelitian dari suatu lembaga penelitian independen di Jakarta yang menemukan fakta bahwa pada umumnya pasta gigi mengandung bahan detergent yang membahayakan bagi kesehatan. Dalam kasus-kasus kecil, bisa terlihat dengan gamblang bagaimana perlakuan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00. Yang ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya (biasanya terjadi di supermarket) atau kalau tidak malah dianggap sumbangan (ini biasanya di minimarket).

Banyak orang tidak (mau) menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha, dan cenderung mengambil sikap tidak ingin ribut. Dalam kasus parkir, kita bisa membayangkan jawaban apa yang akan diterima apabila konsumen berani mengajukan komplain atas kehilangan sebagian atau seluruh kendaraan yang dititipkan pada pelaku usaha? Apalagi jika kita meributkan masalah uang kembalian yang (mungkin) menurut sebagian orang tidak ada nilainya. Masalah uang kembalian menurut saya menimbulkan masalah legal – political, disamping masalah hukum yang muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah dan bukannya permen hal ini juga mempunyai implikasi dengan kebanggan nasional kita dalam pemakaian uang rupiah.

Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidak samaan posisi tawar ini melalui undang-undang. Tetapi peran konsumen yang berdaya juga harus terus menerus dikuatkan dan disebarluaskan.

Monday, June 30, 2008

Alasan Amandemen Ke-5 UUD 1945

Author : Albert Hasibuan

Menurut penulis itu selama proses perubahan UUD 1945 oleh MPR peran elite fraksi di PAH BP MPR bersama dengan DPP partai sangat besar. Sehingga, membuat proses politik di MPR, selama perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD 1945, diwarnai proses kompetisi, bargaining, dan kompromi.
Dikemukakan juga bahwa perdebatan fraksi-fraksi di PAH BP MPR diwarnai kepentingan partai politik yang bersifat nilai-nilai demokrasi yaitu sebagai upaya membangun sistem checks and balances di antara lembaga-lembaga negara dalam rangka lebih mengedepankan kedaulatan rakyat.
Singkatnya, selama pembicaraan perubahan UUD 1945 itu MPR telah dipenuhi kepentingan dan interes partai politik dalam bentuk kompetisi, bargaining dan kompromi politik. Hal ini, saya berpendapat mengapa konstitusi UUD 1945 sekarang ini berisi kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan.
Kalau kita tinjau beberapa kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi UUD 1945 di antaranya adalah kekaburan dan inkonsistensi yuridis dan teoritis dalam materi UUD 1945, kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945, ketidaklengkapan UUD 1945 dan pasal-pasal yang multiinterpretatif, dsb.
Saya berpendapat seharusnya konstitusi UUD 1945, sebagai hukum dasar atau basic law, bersifat lengkap dan sempurna sehingga menjadi living constitution atau konstitusi yang hidup untuk puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Perlu diketahui akibat ketidaksempurnaan dan kelemahan UUD 1945 ini telah menimbulkan pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Satu kelompok menghendaki agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada yang asli. Sedangkan kelompok yang lain menghendaki diadakan lagi perubahan atau amandemen ke-5 UUD 1945, dan kelompok terakhir berpendapat tetap pada UUD 1945 sekarang ini.
Dalam hal ini, ketidaksempurnaan dan kekurangan UUD 1945 misalnya akibat adanya kompromi politik yang menjadikan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi lebih rendah dari DPR seperti tertera dalam rumusan Pasal 22D UUD 1945.
Kompromi politik terjadi sewaktu MPR membicarakan lembaga DPD pada 7 November 2001 dimana 190 anggota MPR mengeluarkan sikap politik tentang ketidaksetujuannya terhadap lembaga DPD dan memilih untuk tetap pada struktur ketatanegaraan berdasarkan negara kesatuan dengan sistem satu kamar atau uni-cameral. Jadi, ketidaksetujuan tersebut karena adanya kekhawatiran bahwa lembaga DPD itu akan menjadikan sistem federalisme.
Pendapat politik anggota MPR itu kurang tepat karena banyak negara kesatuan di dunia mempunyai sistem dua kamar atau bi-cameral. Selanjutnya, konstitusi UUD 1945 mempunyai tendensi didominasi oleh kekuasaan legislatif atau legislative heavy. Hal ini nampak pada Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Wewenang Presiden yang dicampuri kekuasaan legislatif tersebut menggambarkan bahwa perubahan UUD 1945, dengan dominasi kekuasaan eksekutif atau executive heavy selama Orde Baru, tidak merupakan perubahan yang seimbang atau equilibrium berdasarkan checks and balances namun dominasi kekuasaan legislatif atau legislative heavy.
Dalam hal ini, terhadap Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dapat dikemukakan dalam sistem presidensial, Presiden tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi (pembuatan undang-undang) sekalipun Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR atau DPD untuk sektor hubungan pusat daerah.
Lalu, Presiden berhak menolak rancangan undang-undang atau hak veto namun bobot keputusan parlemen yang menentukan validitasnya. Misalnya, dengan 2/3 dukungan suara di DPR atau 2/3 suara pada masing-masing kamar (DPR dan DPD) untuk menghasilkan rancangan undang-undang yang tidak dapat ditolak oleh Presiden.
Apakah tepat menamakan perubahan atau amandemen UUD 1945? Seperti diketahui dari 37 Pasal UUD 1945 yang lama ditambah empat Pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan beserta Penjelasan Umum maupun Penjelasan Pasal demi Pasal UUD 1945 yang diputuskan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 hanya ada 6 pasal (sekitar 16,21%) yang rumusannya sama dengan naskah UUD 1945 yang lama. Pasal-pasal itu adalah: Pasal 4, 10, 22, 25, dan 29. Sedangkan pasal-pasal yang diubah yakni 31 pasal (83,79%) ditambah pasal-pasal baru dengan sistem penomoran pasal lama ditambah huruf A, B, C atau D dan seterusnya dan ayat-ayat baru dalam pasal-pasal lama.
Juga perubahan sistem politik khususnya pelaksanaan kedaulatan dan perubahan institusi maupun komposisi lembaga perwakilan rakyat serta perubahan/ penghilangan institusi negara yang pernah ada (DPA) dan penambahan beberapa institusi baru seperti Dewan PerwakilanDaerah (DPD). Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial dan Dewan Pertimbangan Presiden.
Dengan pasal-pasal baru yang berjumlah 36 pasal atau 97,30% dari UUD 1945 yang asli dengan 37 Pasal tersebut patut dipersoalkan: apakah MPR telah mengganti konstitusi lama dengan UUD yang baru dan bukannya melakukan perubahan atau amandemen UUD 1945?
Selanjutnya, masalah inkonsistensi yang menyangkut bagian mana dari UUD 1945 yang tidak dapat diubah atau yang dapat diubah dengan persyaratan tertentu. Dalam UUD 1845 yang tidak dapat diubah adalah Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia vide Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 dengan akibat bahwa terhadap landasan dasar filosofis kehidupan bangsa dan negara yakni Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, secara teoritis, dapat diubah meskipun diperlukan persyaratan tertentu sesuai Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (4) UUD 1945. Demikianlah beberapa alasan untuk amandemen ke-5 UUD 1945.

Thursday, June 26, 2008

Filsafat Hukum (2)

Fungsi Filsafat Hukum
Pada zaman yunani kuno hukum dipandang berkaitan dengan alam. Alam dikuasai oleh hukum yang biasa disebut hukum alam. Demikian juga manusia yang termasuk alam itu. Dalam pandangan demikian, hukum berfungsi untuk mengatur hidup manusia supaya mengikuti peraturan yang sesuai dengan hakikatnya. Dalam abad pertengahan pandangan ini berubah, hukum tetap dipertahankan dalam fungsinya yang semula, yakni menciptakan aturan-aturan.
Namun antara yang terwujud tidak dipandang lagi sebagai suatu keharusan alamiah. Aturan hukum adalah aturan Allah SWT. Hukum berfungsi untuk menjamin suatu aturan hidup sebagaimana yang dikehendaki oleh Pencipta manusia.
Dalam zaman modern, pandangan terhadap hukum berubah lagi. Hukum dilihat sebagai ciptaan manusia. Karena yang menentukan hukum adalah manusia sendiri, ia menentukan aturan dalam kehidupannya. Latar belakang pandangan ini adalah kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk bebas. Ia membangun kehidupannya, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan kelompok sesuai dengan kebutuhan cita-citanya. Fungsi hukum dalam pandangan ini adalah mewujudkan suatu kehidupan bersama yang teratur sehingga dapat menunjang perkembangan pribadi setiap manusia.
Ketika muncul tokoh dari filsuf Yunani dan Kristiani memunculkan ide bahwa tujuan negara dan hukum adalah untuk mewujudkan kepentingan umum, maka negara didirikan untuk mewujudkan kepentingan umum, dan hukum merupakan sarana utama untuk merealisasikan tujuan itu. Suatu masyarakat dianggap baik, bila kepentingan umum diperhatikan, baik oleh penguasa maupun oleh para warga negara. Pengertian ini tetap dipertahankan dalam zaman rasionalisme sampai saat ini, diantaranya ditemukan dalam aliran realisme hukum Amerika.
Kalau dikatakan bahwa kepentingan umum diwujudkan melalui hukum, dapat diandaikan pula bahwa kepentingan lain juga sudah diperhatikan secukupnya oleh manusia secara pribadi, yaitu kepentingan individual. Berarti hukum yang menjamin kepentingan umum tidak boleh merugikan kepentingan individual, melainkan harus melindunginya. Hukum tidak hanya menjamin kepentingan umum, tetapi mengimbangi kepentingan umum dengan kepentingan individual.
Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan memiliki ciri-ciri sendiri.

Filsafat Hukum (1)

Author : a121efr
A. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia. Philo atau philein berarti cinta, sophia berarti kebijaksanaan. Gabungan kedua kata dimaksud berarti cinta kebijaksanaan. Philosophos adalah pencinta kebijaksanaan. Dalam bahasa arab disebut Failasuf, kemudian ditransfer ke dalam bahasa Indonesia menjadi Failasuf atau Filsuf.
Dalam bahasa arab dikenal kata hikmah yang hampir sama dengan arti kebijaksanaan. Kata hikmah atau hakiem adalam bahasa arab dipakai dalam pengertian falsafah dan failasuf, tetapi harus dilihat dalam konteks apa kata hikmah dan hakiem itu digunakan, karena tidak semua kata hikmah atau hakiem itu digunakan. Hal iti menunjukkan bahwa tidak semua kata hikmah atau hakiem dapat diartikan falsafah atau filsuf.
Antara falsafah dengan sejarah tidak dapat dipisahkan, karena sejarah falsafah sudah merupakan falsafah itu sendiri. Ketiak satu demi satu ilmu pengetahuan memisahkan diri dari falsafah sebagai induknya, akhirnya sisa dua bidang yang tetap melekat pada falsafah itu : Apakah yang dapat aku ketahui dan apakah yang harus aku kerjakan. Kedua pernyataan itu merupakan inti dari falsafah, yang pembahasannya meliputi tiga realitas masalah, yaitu (1) Tuhan, (2) Manusia, dan (3) Alam.[1] Sebagai contoh ”Filsafat Ketuhanan”.
Filsafat adalah upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan penggambaran manusia di dunianya menuju akhirat secara mendasar. Objeknya adalah materi dan forma. Objek materi sering disebut segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada. Hal ini berarti filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari benda mati, tumbuha, hewan, manusia, dan sang Pencipta. Selanjutnya objek ini sering disebut sebagai realita atau kenyataan. Filsafat ingin mempelajari baik secara fragmental (menurut bagian dan jenisnya) maupun secara integral menurut keterkaitan antara bagian-bagian dan jenis-jenis itu didalam suatu keutuhan secara keseluruhan. Hal itulah yang disebut objek forma.
Filsafat mempunyai 2 (dua) unsur, yaitu (a) unsur internal yang meliputi struktur ilmu pengetahuan dan metodologi, (b) unsur eksternal yang terdiri atas ilmu dan nilai yang meliputi agama, etika dan ideologi.
Kedudukan filsafat pengetahuan menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab musabab pertama. Pokok bahasannya antara lain : apakah suatu pengetahuan itu benar dan tetap terpercaya, tidak berubah atau berubah-ubah terus, bergerak dan berkembang, dan jika berkembang, kemanakah arah perkembangannya.Filsafat ilmu adalah mempelajari gejala ilmu pengetahuan sebagai salah satu bidang pengetahuan khas menurut sebab musabab terakhir. Ilmu pengetahuan dimengerti sebagai pengetahuan secara sistematis dan langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis
[1] H.M. Rasyidi, dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintan, 1988), hlm 104